Terungkap: Skandal Perdagangan Orang di Balik Program Magang Mahasiswa Indonesia di Jerman

Foto: Awal Mula Kasus Perdagangan Orang Berkedok Magang Mahasiswa Indonesia di Jerman Terungkap

Kasus Dugaan Perdagangan Orang dalam Program Magang Mahasiswa Indonesia di Jerman

KBO-BABEL.COM (Jakarta) – Belakangan ini kasus dugaan perdagangan orang dalam program magang mahasiswa Indonesia di Jerman mengguncang dunia pendidikan Indonesia. Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Mabes Polri secara resmi mengumumkan kasus ini, mengungkap modus operandi yang merugikan puluhan mahasiswa. Dalam konteks ini, kita akan menyelami kronologi terungkapnya kasus ini, implikasi hukum yang menyertainya, serta respon pemerintah terkait isu ini. Jum’at (22/3/2024)

Kronologi Terungkapnya Kasus Dugaan Perdagangan Orang
Kisah ini dimulai dari laporan yang diterima oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Jerman. Empat mahasiswa Indonesia yang mengikuti program magang di Jerman melaporkan adanya ketidakwajaran dalam pelaksanaan program tersebut. Dalam keterangan mereka, diketahui bahwa program magang ini dijalankan melalui dua entitas, yaitu CV GEN dan PT SHB.

Bacaan Lainnya

Para mahasiswa ini terlibat dalam program Ferienjob yang diselenggarakan oleh CV GEN dan PT SHB. Mereka diminta untuk membayar sejumlah uang sebagai biaya pendaftaran dan untuk pengurusan dokumen resmi, seperti Letter of Acceptance (LOA) dan approval otoritas Jerman (working permit).

Total biaya yang diminta sangat signifikan, mencapai puluhan juta rupiah. Selain itu, para mahasiswa juga diwajibkan untuk membayar dana talangan, yang akan dipotong dari gaji mereka setiap bulan.

Ketika tiba di Jerman, para mahasiswa langsung disuguhi kontrak kerja dalam bahasa Jerman. Hal ini membuat mereka kesulitan memahami isi kontrak tersebut.

Namun, karena sudah berada di negara tersebut, mereka terpaksa menandatangani kontrak tersebut. Dalam kontrak kerja tersebut, biaya penginapan dan transportasi selama di Jerman ditanggung oleh para mahasiswa.

Setelah penyelidikan intensif, Dittipidum Bareskrim Polri berhasil menetapkan lima tersangka dalam kasus ini, yang seluruhnya merupakan warga negara Indonesia. Dua di antaranya berada di Jerman. Polri bekerja sama dengan pihak internasional dan KBRI Jerman untuk menangani kedua tersangka yang berada di luar negeri.

Implikasi Hukum dan Tanggapan Pemerintah
Kasus ini menimbulkan dampak hukum yang serius bagi para pelaku. Mereka dijerat dengan pasal 81 Undang-Undang no 17 tahun 2017 tentang perlindungan pekerja migran Indonesia, yang mengancam dengan hukuman penjara maksimal 10 tahun dan denda hingga Rp 15 miliar.

Selain itu, ada juga pasal pidana tambahan yang mencakup pencabutan izin usaha, perampasan kekayaan hasil tindak pidana, pencabutan status badan hukum, pemecatan pengurus, dan pelarangan mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama.

Menanggapi kasus ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menegaskan bahwa program Ferienjob bukan bagian dari program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).

Mereka menolak program tersebut karena kalender akademik di Indonesia tidak sinkron dengan Jerman. Kemendikbudristek menjelaskan bahwa mekanisme program magang dari luar negeri harus melalui usulan KBRI atau Kedubes terkait untuk mendapatkan surat endorsement.

Kasus perdagangan orang dalam program magang mahasiswa Indonesia di Jerman menjadi cermin bagi tantangan dalam pendidikan tinggi Indonesia. Sistem pengawasan yang belum memadai dan kurangnya pemahaman terhadap hak-hak pekerja migran menjadi celah bagi praktik eksploitasi semacam ini.

Langkah-langkah hukum yang diambil oleh pihak berwenang adalah langkah awal yang penting dalam memberikan keadilan bagi para korban dan mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan.

Dalam hal ini, peran KBRI dan lembaga pendidikan tinggi Indonesia sangatlah krusial. Mereka harus meningkatkan pengawasan terhadap agen tenaga kerja yang beroperasi di dalam dan luar negeri serta memberikan edukasi yang memadai kepada mahasiswa tentang hak-hak mereka sebagai pekerja migran.

Hanya dengan langkah-langkah preventif dan proaktif semacam ini, kita dapat melindungi martabat dan hak asasi manusia dalam dunia pendidikan tinggi Indonesia. (Sumber: Tempo, Editor: KBO-Babel)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *