Dugaan Maladministrasi dan Kerjasama Bermasalah PT Timah Tbk dengan Smelter Swasta Periode 2015-2022
KBO-BABEL.COM (Bangka Belitung) – Kasus dugaan maladministrasi dan kerjasama bermasalah PT Timah Tbk dengan smelter swasta selama periode 2015-2022 terus menjadi sorotan publik. Kerjasama ini, terutama dalam hal pengangkutan dan peleburan bijih timah, diduga telah menyebabkan produksi timah PT Timah Tbk yang merupakan BUMN, menurun drastis meskipun memiliki Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang luas di Bangka Belitung. Rabu (15/5/2024)
Pada tahun 2018, di bawah kepemimpinan Mochtar Riza Pahlevi Tabrani sebagai Direktur Utama, PT Timah Tbk mengeluarkan Peraturan Perusahaan No.030 tentang Pengamanan Bijih Timah dalam WIUP PT Timah Tbk.
Aturan ini menempatkan tanggung jawab kegiatan pengamanan kepada Divisi Pengamanan PT Timah dan semua kepala unit produksi wilayah, yakni Bangka, Belitung, dan Kundur.
Namun, implementasi program jemput bola dengan produk Sisa Hasil Pengarungan (SHP) hanya berlangsung beberapa bulan. Program ini hanya dijalankan oleh unit produksi darat dan laut di Bangka dan Belitung. Hal ini menyebabkan produksi logam timah dari smelter swasta meningkat, mengalahkan produksi PT Timah Tbk.
Kejadian ini diikuti oleh manajemen PT Timah yang melakukan afiliasi kerjasama dengan smelter swasta tanpa transparansi. Direktur Operasi dan Produksi saat itu, Alwin Albar, bersama Direktur Utama, memimpin inisiatif ini.
Afiliasi tersebut memungkinkan produksi pasir timah dalam WIUP PT Timah diproses oleh smelter swasta seperti TIN, SBS, VIP, SIP, dan RBT tanpa penjelasan yang jelas kepada unit produksi dan divisi terkait.
Sumber anonim menyebutkan bahwa pada akhir 2018, PT Timah mulai menerima logam timah berbentuk balok (crude tin) dari beberapa smelter swasta tersebut. Kegiatan jemput bola dihentikan dan PT Timah fokus pada produksi timah berkadar tinggi yang siap dilebur.
Audit dan verifikasi kelayakan smelter dilakukan oleh Unit Pengolahan dan Peleburan Mitra (UPPM) PT Timah sebelum logam timah tersebut dimurnikan di Pusat Peleburan Muntok (UNMET) di Bangka Barat.
Sumber juga mengungkapkan bahwa beberapa kegiatan produksi di Bangka Tengah melibatkan operasi ilegal di kawasan hutan lindung yang dikelola oleh mitra pengangkutan PT Timah dan melibatkan oknum pejabat PT Timah. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang asal-usul bijih timah yang diproduksi menjadi balok di UNMET Muntok.
Kegiatan ekspor balok timah ini sempat dipermasalahkan oleh pihak Sucofindo terkait izin ekspor. Direksi operasi dan produksi kemudian menunjuk kepala unit di Bangka dan Belitung untuk membagi wilayah kerja smelter sesuai dengan WIUP PT Timah, namun tanpa transparansi kontrak kerja terkait pola kerjasama tersebut.
Smelter pun menunjuk pihak ketiga untuk pengiriman bijih timah yang tidak jelas asal-usulnya ke smelter yang telah mendapatkan Surat Perintah Kerja (SPK) dari PT Timah.
Kegiatan peleburan bijih timah ini diawasi oleh UPPM PT Timah yang bertanggung jawab atas pembayaran upah lebur dan produksi kepada smelter. Namun, ada dugaan bahwa smelter yang mendapatkan SPK juga mensubkontrakkan pekerjaan tersebut kepada smelter lain. Misalnya, smelter RBT menunjuk smelter DS Jaya Abadi (sekarang SIP), smelter ATD di kawasan industri Jelitik, dan smelter di kawasan Tirus Belinyu.
Informasi dari narasumber juga mengungkapkan bahwa kerjasama penglogaman ini melibatkan kepala unit darat Bangka dan kepala bidang pengawasan tambang.
Mereka diduga memainkan peran penting dalam memilih smelter lain yang bisa masuk wilayah mereka, yang seharusnya menjadi tanggung jawab UPPM dibantu oleh tim dari divisi perencanaan produksi PT Timah Tbk.
Sejak pertengahan tahun 2019, kerjasama dengan smelter baru seperti PT Bersahaja, PT GKK, dan Inti Zirkon mulai menjamur. Asal usul bijih timah atau low material dari perusahaan-perusahaan ini diduga kuat berasal dari PT Timah Tbk.
Kejaksaan Agung RI saat ini berperan signifikan dalam mengusut kasus dugaan korupsi tata kelola komoditas timah periode 2015-2022. Namun, masih banyak pejabat internal PT Timah yang belum diperiksa terkait peran mereka dalam kerjasama bermasalah ini dan masih menduduki posisi strategis di perusahaan.
Kasus ini menimbulkan kekhawatiran akan integritas pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, khususnya dalam industri pertambangan timah. Transparansi dan akuntabilitas dalam setiap langkah kerjasama dan produksi sangat penting untuk memastikan bahwa sumber daya nasional dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan rakyat. (KBO-Babel/tim)