Eks Dirut PT Timah Sebut Undangan Rapat Bersama Bos Smelter dari Harvey Moeis

Foto: Mantan Direktur Utama PT Timah Tbk Mochtar Riza Pahlevi (kiri) dan Mantan Direktur Keuangan PT Timah Tbk Emil Ermindra (kanan) saat hadir di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta jelang menjadi saksi terdakwa Harvey Moeis Cs, Kamis (26/9/2024). (Tribunnews)

Mochtar Riza Pahlevi Tabrani: Dihubungi Harvey Moeis untuk Rapat dengan Pemilik Smelter Swasta

KBO-BABEL.COM (Jakarta) – Mantan Direktur Utama PT Timah Tbk, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, mengaku diundang untuk mengikuti rapat bersama para bos smelter timah swasta di Hotel Sofia, Jakarta Selatan. Keterangan ini disampaikan Riza ketika diperiksa sebagai saksi mahkota dalam kasus dugaan korupsi terkait tata niaga komoditas timah dengan terdakwa pemilik CV Venus Inti Perkasa, Tamron, dan kawan-kawan. Sabtu (19/10/2024)

Saat memberikan keterangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Jumat (18/10/2024), Riza menjelaskan bahwa kehadirannya dalam rapat tersebut merupakan pemenuhan janji pertemuan yang disampaikan oleh Direktur Operasi PT Timah saat itu, Alwin Albar.

Bacaan Lainnya

“Enggak. Apakah saksi pada saat itu sesuai (berita acara pemeriksaan) BAP saksi saja lah, apakah pada saat itu saksi diundang juga oleh Harvey Moeis?” tanya Jaksa.

“Oh pas pertemuan awal iya, saya bertemu dengan beliau. Hanya saya dengan Pak Harvey,” jawab Riza.

Riza menjelaskan bahwa para bos pemilik smelter swasta baru hadir dalam pertemuan-pertemuan berikutnya. Ia membenarkan bahwa salah satu dari mereka yang hadir adalah Tamron.

Jaksa kemudian menggali lebih dalam mengenai apa saja yang dibicarakan dalam rapat tersebut antara pihak PT Timah dan bos perusahaan smelter.

Mochtar menyebutkan bahwa pada saat itu, pihaknya mengalami kekurangan kapasitas dalam proses penglogaman, sehingga memutuskan untuk menyewa smelter timah swasta.

“Yang mengutarakan itu siapa saat itu?” tanya jaksa.

“Kalau enggak saya Pak Dirops,” ujar Riza.

Tidak berhenti di situ, jaksa melanjutkan dengan mempertanyakan apakah dalam pertemuan itu juga dibicarakan mengenai Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) serta kompeten person.

RKAB adalah dokumen yang wajib disusun oleh perusahaan setiap tahun dan harus disetujui oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Sementara itu, kompeten person harus dimiliki oleh perusahaan yang akan mengajukan RKAB. Dalam kasus ini, perusahaan-perusahaan smelter swasta tidak memiliki kompeten person.

Awalnya, Riza sempat mengelak dan membantah bahwa pertemuan tersebut membahas persoalan RKAB dan kompeten person. Namun, jaksa kemudian membacakan BAP Riza yang menyampaikan keterangan berbeda.

“Saya bersama dengan Alwin Albar, Pak Eko di tempat, lalu Harvey Moeis mewakili perusahaan lainnya mengutarakan bahwa di tahun depan, tahun 2019 kemungkinan RKAB masing-masing smelter tidak dapat terbit dikarenakan kompeten person Indonesia yang dimiliki tidak mau dibuat dengan alasan terdapat verifikasi dan evaluasi dari lahan tambang yang dimiliki smelter tersebut,” kata jaksa sambil membacakan BAP.

Jaksa kembali menanyakan, “Nah itu awalnya ada pembahasan seperti itu baru dibahas apa yang saksi katakan, sewa menyewa?”

Riza pun mengakui, “Iya betul karena tidak ada kompeten person, tidak ada RKAB jadi kapasitas itu tidak terpakai.”

Dalam kasus dugaan korupsi ini, negara diperkirakan mengalami kerugian finansial hingga Rp 300 triliun.

Mantan Direktur Utama PT Timah Tbk, Mochtar Riza Pahlevi, eks Direktur Keuangan PT Timah Emil Ermindra, dan kawan-kawannya didakwa melakukan korupsi ini bersama dengan Helena Lim, seorang pengusaha kaya. Perkara ini juga turut menyeret nama Harvey Moeis, yang diduga menjadi perpanjangan tangan dari PT Refined Bangka Tin (RBT).

Harvey dituduh telah mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah untuk mendapatkan keuntungan. Ia menghubungi Mochtar dalam rangka mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah tersebut.

Setelah melakukan beberapa kali pertemuan, Harvey dan Mochtar sepakat agar kegiatan akomodasi pertambangan liar tersebut dicover dengan skema sewa menyewa peralatan processing peleburan timah.

Selanjutnya, Harvey menghubungi beberapa smelter, seperti PT Tinindo Internusa, CV Venus Inti Perkasa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Sariwiguna Binasentosa untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut.

Harvey meminta pihak smelter untuk menyisihkan sebagian dari keuntungan yang dihasilkan. Keuntungan tersebut kemudian diserahkan kepada Harvey seolah-olah sebagai dana corporate social responsibility (CSR) yang difasilitasi oleh Helena selaku Manager PT QSE.

Jaksa menjelaskan, “Memperkaya terdakwa Harvey Moeis dan Helena Lim setidak-tidaknya Rp 420.000.000.000.” Hal ini menunjukkan bahwa dari perbuatan melawan hukum ini, Harvey Moeis bersama Helena Lim disebut menikmati uang negara hingga Rp 420 miliar.

Atas perbuatannya, Harvey Moeis didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Tahun 2010 tentang TPPU.

Proses persidangan ini mencerminkan bagaimana dugaan praktik korupsi dalam tata niaga komoditas timah melibatkan banyak pihak dan berpotensi merugikan negara dalam jumlah yang sangat besar.

Persidangan ini akan melanjutkan penyelidikan dan memberikan kejelasan lebih lanjut mengenai peran masing-masing individu dan dampak dari praktik-praktik korupsi yang terjadi dalam industri timah di Indonesia. (Sumber: Kompas, Editor: KBO-Babel)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *