Regulasi Tata Niaga Timah Tak Jelas, Perekonomian Masyarakat Babel Terhambat
KBO-BABEL.COM (Bangka Belitung) – Masyarakat Bangka Belitung merasakan dampak yang sangat besar terhadap perekonomian mereka akibat semrawutnya regulasi tata niaga timah yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini diungkapkan dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Universitas Bangka Belitung (IKA UBB) yang bertajuk “Seminar Dampak Hukum, Sosial dan Ekonomi Bagi Masyarakat Bangka Belitung Akibat Perkara Korupsi Tata Niaga Timah Di Wilayah IUP PT. Timah Tbk, Tahun 2015-2022.” Senin (17/2/2025)
Diskusi yang berlangsung pada Sabtu, 15 Februari 2025, ini berfokus pada lemahnya perekonomian Bangka Belitung pasca terungkapnya kasus korupsi dalam tata niaga timah yang merugikan negara hingga mencapai Rp300 triliun.
Dalam seminar ini, berbagai perspektif dari akademisi, ahli, dan tokoh masyarakat dibahas untuk memberikan gambaran terkait dampak yang ditimbulkan, baik dalam aspek hukum, sosial, maupun ekonomi.
Ketua pelaksana seminar, Kevin Samuel Walker Sembiring, menjelaskan bahwa salah satu masalah utama yang hingga saat ini belum terselesaikan adalah banyaknya penambangan liar yang dilakukan masyarakat di dalam Wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. Timah Tbk, baik di kawasan hutan maupun non-hutan.
“Polemik tata niaga timah di Bangka Belitung akibat timah illegal telah jadi permasalahan sebelum kasus korupsi tata niaga timah di wilayah IUP PT. Timah Tbk terjadi dan hal ini telah menjadi perhatian Presiden RI, Joko Widodo saat itu,” kata Kevin.
Kevin juga mengungkapkan bahwa berdasarkan data dari website ESDM, negara kehilangan pendapatan sebesar Rp58,080 triliun akibat penambangan ilegal tersebut.
“Pada saat itu, Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya tata kelola timah agar ekspor ilegal berkurang serta rakyat menjadi terlindungi,” ujarnya.
Pada tahun 2018, PT. Timah menggandeng lima perusahaan smelter lokal dalam perjanjian sewa menyewa untuk pemurnian dan penglogaman timah, sesuai dengan visi Presiden Joko Widodo. Dengan kerja sama ini, PT. Timah berhasil menjadi pemasok timah terbesar di dunia setelah Cina, dan memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian negara.
“Dari kerja sama ini, PT. Timah berhasil memberikan pemasukan negara dalam kurun waktu empat tahun, yakni pada tahun 2018 sekitar Rp818,7 miliar, 2019 Rp1,2 triliun, 2020 Rp677,9 miliar, dan 2021 Rp776,657 miliar,” kata Kevin.
Namun, Kevin menegaskan bahwa permasalahan semakin semrawut karena tidak adanya regulasi yang jelas mengenai cara penambangan timah rakyat dapat bermitra dengan PT. Timah Tbk. Akibatnya, kelima perusahaan smelter yang bekerjasama dengan PT. Timah terjerat tindak pidana korupsi.
“Bahkan ada pula kerugian keuangan negara karena kerusakan lingkungan yang dihitung oleh Prof. Bambang sebesar Rp271,069 triliun. Proses hukum dalam perkara ini seluruhnya telah divonis di persidangan,” ujar Kevin.
Sejak kasus ini bergulir, dampak negatif bagi masyarakat Provinsi Bangka Belitung dari segi hukum, sosial, dan ekonomi terus dirasakan. Oleh karena itu, seminar ini digelar untuk memberikan gambaran yang jelas dari berbagai perspektif, termasuk masukan dari akademisi, ahli, dan tokoh masyarakat yang diharapkan bisa memberikan solusi yang berguna bagi semua pihak.
Dalam seminar ini, beberapa perspektif dibahas, salah satunya perspektif hukum. Pihak penyelenggara seminar menyoroti kepastian hukum dalam regulasi terkait penambangan rakyat agar dapat bermitra dengan perusahaan BUMN dan swasta. Selain itu, kerugian lingkungan hidup yang diakibatkan oleh penambangan ilegal dan kegiatan korupsi juga masuk dalam elemen kerugian keuangan negara dalam perkara ini.
Dari perspektif ekonomi, Reniati, dosen Program Studi Magister Manajemen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Bangka Belitung (FEB UBB), menyarankan pemerintah daerah untuk mengambil langkah konkret dalam menghadapi permasalahan perekonomian lokal dan nasional. Reniati juga menyoroti perubahan pola investasi dan ketidakpastian pasar yang terjadi akibat permasalahan tata niaga timah.
Reniati juga menyarankan agar pemerintah pusat segera menentukan arah tata kelola timah di Bangka Belitung.
“Kalau mau dihilirisasi, maka harus jelas hilirisasi seperti apa? Jangan biarkan masyarakat jadi korban,” ujarnya.
Sementara itu, Oktarizal, Statistisi Ahli Madya BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, mengamini pelemahan ekonomi yang terjadi akibat keruntuhan industri timah di daerah ini.
“Masyarakat Babel sangat bergantung pada usaha pertambangan ini. Kalau saya bandingkan jumlah tabungan masyarakat sebelum dan sesudah kasus timah mencuat, berubah drastis. Karena ketika mereka bekerja di industri timah, mereka bisa memperoleh upah hingga 30 juta per bulan, tapi di sektor lain mereka hanya dapat 2-3 juta saja,” ungkap Oktarizal.
Menurut Oktarizal, terpuruknya sektor industri timah juga sangat mempengaruhi sektor lainnya, salah satunya sektor otomotif.
“Pada tahun 2021 lalu, pertumbuhan kepemilikan motor atau mobil bisa mencapai dua digit, tapi setelah kasus ini mencuat, malah pertumbuhannya jadi minus,” tambahnya.
Dalam seminar tersebut, berbagai pembicara juga menyampaikan urgensi untuk segera merumuskan regulasi yang jelas terkait tata niaga timah dan peran pemerintah dalam mengelola sumber daya alam ini agar tidak hanya menguntungkan beberapa pihak, tetapi juga melindungi masyarakat dan ekonomi lokal Bangka Belitung.
Pemulihan ekonomi pasca kasus ini akan membutuhkan perhatian serius dan kebijakan yang tepat untuk menciptakan stabilitas dan keberlanjutan di sektor timah yang menjadi sumber penghidupan utama masyarakat setempat. (Sumber: Tvonenews, Editor: KBO-Babel)