Zarof Ricar, Makelar Kasus di MA Raup Rp 915 Miliar dan 51 Kg Emas dalam 10 Tahun

Foto: Tersangka pemufakatan jahat suap kasasi Ronald Tannur, Zarof Ricar. (Dok. Kejaksaan Agung)

Jaksa Bongkar Zarof Ricar, Terima Rp 915 Miliar dan Emas 51 Kg dari Praktik Makelar Kasus di MA

KBO-BBAEL.COM (Jakarta) – Mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar, didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp 915 miliar selama 10 tahun menjalankan peran sebagai makelar kasus di MA. Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Senin (10/2/2025), jaksa penuntut umum mengungkap modus Zarof dalam memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya diri. Senin (10/2/2025)

Jaksa memaparkan bahwa sejak 2012 hingga Februari 2022, Zarof memanfaatkan sejumlah jabatan strategisnya di MA untuk mendapatkan akses langsung ke para hakim yang menangani perkara. Selama menjabat, Zarof dikenal memiliki hubungan yang luas dengan pejabat pengadilan, mulai dari tingkat pertama hingga Mahkamah Agung.

Bacaan Lainnya

“Bahwa dalam jabatan terdakwa tersebut maka memudahkan terdakwa untuk memiliki akses untuk bertemu dan mengenal ke berbagai lingkup pejabat hakim agung di lingkungan Mahkamah Agung termasuk ketika terdakwa menjabat sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung di mana terdakwa juga selaku Widyaiswara yang mengajar di lingkungan hakim,” kata jaksa.

“Sehingga terdakwa memiliki akses untuk bertemu dan mengenal dengan kalangan hakim di tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung,” lanjutnya.

Perjalanan Karier Zarof

Zarof memulai kariernya di MA sebagai Direktur Pranata dan Tata Laksana Perkara Pidana Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum (eselon IIa) sejak 30 Agustus 2006 hingga 1 September 2014. Jabatan ini memberinya akses terhadap pengelolaan perkara pidana yang masuk ke MA.

Pada Oktober 2014, Zarof naik jabatan menjadi Sekretaris Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung (eselon IIa) hingga Juli 2017. Posisi ini semakin memperluas pengaruhnya di lingkungan MA.

Puncak kariernya adalah saat menjabat sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan serta Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung (eselon Ia) dari Agustus 2017 hingga 1 Februari 2022. Dalam posisi tersebut, Zarof juga berperan sebagai pengajar atau widyaiswara, yang memberinya peluang tambahan untuk berinteraksi dengan para hakim.

“Selanjutnya dalam periode jabatan terdakwa tersebut, terdakwa telah menerima pemberian yang berhubungan dengan penanganan perkara dari para pihak yang memiliki perkara di lingkungan pengadilan baik di tingkat pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali di mana terdakwa memfasilitasi pihak yang sedang berperkara dengan maksud supaya mempengaruhi hakim dalam menjatuhkan putusan sesuai dengan permintaan para pihak berperkara,” ujar jaksa.

Modus dan Hasil Gratifikasi

Jaksa menyebut bahwa selama satu dekade, Zarof menerima suap dari berbagai pihak yang berperkara di pengadilan. Ia bertindak sebagai perantara untuk mempengaruhi hakim agar memberikan putusan yang menguntungkan pihak pemberi suap.

“Sehingga terdakwa menerima pemberian suap berupa uang tunai dalam bentuk uang rupiah dan mata uang asing (valuta asing) yang dikonversikan ke dalam mata uang rupiah dengan nilai total keseluruhan kurang lebih sebesar Rp 915.000.000.000 dan emas logam mulia sebanyak kurang lebih 51 kilogram,” tutur jaksa.

Gratifikasi tersebut diterima Zarof dalam berbagai bentuk, mulai dari uang tunai hingga logam mulia. Jaksa mengungkap bahwa Zarof dengan sengaja memanfaatkan posisinya untuk memperkaya diri, merugikan sistem peradilan, dan mencoreng integritas MA.

Perbuatan Zarof dinilai melanggar Pasal 12 B juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jaksa menyebut tindakan Zarof tidak hanya melibatkan suap, tetapi juga praktik gratifikasi yang terorganisir.

Kasus ini menjadi salah satu contoh paling mencolok dari praktik korupsi di lembaga peradilan. Dalam dakwaannya, jaksa menegaskan pentingnya hukuman berat untuk memberikan efek jera bagi pelaku korupsi, terutama di lembaga yang seharusnya menjunjung tinggi keadilan. (Sumber: Detik, Editor KBO-Babel)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *