AKBP Malvino Terungkap Peras Penonton DWP 2024, Kini Dipecat dari Polri
KBO-BABEL.COM (Jakarta) – Eks Kabsubdit 3 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya, AKBP Malvino Edward Yusticia, dijatuhi sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) atau dipecat dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri) setelah menjalani sidang kode etik profesi Polri (KEPP) yang digelar pada Kamis (2/1/2025). Keputusan ini menyusul keterlibatannya dalam kasus pemerasan terhadap para penonton konser Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024 yang digelar beberapa waktu lalu. Jumat (3/1/2025)
Selain AKBP Malvino, Polri juga memecat dua anggota polisi lainnya yang turut terlibat dalam kasus ini. Mereka adalah mantan Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya, Kombes Donald Parlaungan Simanjuntak, dan mantan Panit 1 Unit 3 Subdit 3 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya, AKP Yudhy Triananta Syaeful. Pemecatan ini dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab atas tindakan mereka yang merusak citra Polri.
Dalam sidang etik yang digelar, terungkap bahwa AKBP Malvino langsung turun tangan untuk melakukan pemerasan terhadap para penonton konser DWP yang diduga terlibat penyalahgunaan narkoba.
Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri, Kombes Trunoyudo Wisnu Andiko, dalam jumpa pers yang digelar setelah sidang etik.
“Telah mengamankan penonton konser DWP 2024 yang terdiri dari warga negara asing maupun warga negara Indonesia yang diduga menyalahgunakan narkoba,” kata Trunoyudo.
Namun, setelah para penonton tersebut diamankan, AKBP Malvino meminta imbalan uang kepada mereka agar bisa dibebaskan. Uang yang diminta dimaksudkan sebagai biaya untuk membebaskan setiap korban yang terjaring dalam pemeriksaan narkoba di acara tersebut.
“Namun, saat pemeriksaan terduga pelanggar telah meminta uang sebagai imbalan untuk pelepasan,” ujar Trunoyudo lebih lanjut.
Tidak hanya AKBP Malvino, AKP Yudhy juga turut melakukan hal serupa, meminta uang dari para penonton yang ditangkap untuk dibebaskan. Sebagai konsekuensinya, kedua polisi tersebut dijatuhi sanksi PTDH.
Setelah sidang etik selesai, baik AKBP Malvino maupun AKP Yudhy segera mengajukan banding atas putusan pemecatannya.
“Kedua pemberhentian tidak dengan hormat atau PTDH sebagai anggota Polri atas putusan tersebut pelanggar menyatakan banding,” kata Trunoyudo dalam jumpa pers tersebut.
Pengajuan banding ini sesuai dengan hak yang dimiliki oleh setiap anggota Polri yang dijatuhi sanksi pemecatan. Menurut Brigjen Agus Wijayanto, Karowabprof Divpropam Polri, banding dapat diajukan setelah sidang etik dengan waktu maksimal tiga hari setelah putusan. Selanjutnya, memori banding harus diajukan dalam waktu 21 hari kerja setelahnya.
“Banding waktunya diajukan setelah sidang itu 3 hari, kemudian memori banding nanti diajukan oleh pelanggar waktunya adalah 21 hari kerja dia mengajukan memori banding,” jelas Agus.
Nantinya, komisi banding akan dibentuk untuk menelaah dan memutuskan apakah banding tersebut diterima atau tidak.
“Komisi banding nanti akan dibentuk, komisi banding akan mempelajari, melaksanakan sidang banding yang diajukan oleh pelanggar ini,” tuturnya.
Sebelumnya, beredar informasi bahwa lebih dari 400 penonton DWP menjadi korban pemerasan oleh oknum-oknum polisi yang terlibat dalam insiden ini, dengan jumlah uang yang diperas mencapai 9 juta ringgit atau sekitar Rp32 miliar. Kabar tersebut menjadi viral di media sosial dan memicu keprihatinan dari berbagai pihak, termasuk penyelenggara DWP, Ismaya Live.
Dalam pernyataan resmi yang diterbitkan melalui Instagram pada Kamis (19/12/2024), pihak penyelenggara DWP menyampaikan rasa kekhawatiran dan penyesalannya terkait kejadian tersebut.
“Kepada keluarga besar DWP kami yang luar biasa. Kami mendengar kekhawatiran Anda dan sangat menyesalkan tantangan dan frustasi yang Anda alami,” tulis DWP dalam pernyataan tersebut.
Lebih lanjut, pihak DWP menegaskan bahwa mereka akan bekerja sama dengan pihak berwenang dan pemerintah untuk menyelidiki kasus ini secara menyeluruh.
“Kami secara aktif bekerja sama dengan pihak berwenang dan badan pemerintah untuk menyelidiki secara menyeluruh apa yang terjadi dan untuk memastikan langkah-langkah konkret diterapkan untuk mencegah insiden semacam itu terjadi lagi di masa depan,” ujar DWP.
Namun, belakangan ini, Kepala Divisi Propam Polri Irjen Pol Abdul Karim memberikan klarifikasi terkait jumlah uang yang diperoleh hasil pemerasan tersebut.
Berdasarkan hasil penyelidikan, jumlah uang yang terkumpul dari pemerasan tersebut ternyata hanya sekitar Rp2,5 miliar, jauh lebih rendah dari jumlah yang sebelumnya beredar, yakni 9 juta ringgit atau sekitar Rp32 miliar.
“Perlu saya luruskan juga bahwa barang bukti yang telah kita amankan jumlahnya Rp2,5 miliar. Jadi jangan sampai nanti seperti pemberitaan sebelumnya yang angkanya cukup besar,” kata Abdul Karim di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (24/12/2024).
Ia juga menegaskan bahwa angka yang selama ini beredar tidak sesuai dengan fakta yang ditemukan dalam penyelidikan.
Terkait jumlah korban, berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan, diketahui bahwa ada sebanyak 45 orang yang menjadi korban pemerasan oleh oknum-oknum polisi tersebut.
“Jadi jangan sampai ada yang jumlahnya cukup spektakuler. Jadi kita luruskan bahwa korban yang sudah kita datakan secara scientific dan hasil penyelidikan,” jelasnya.
Selain itu, Abdul Karim menambahkan bahwa Polri tetap berkomitmen untuk menindak tegas setiap anggota yang terbukti melakukan pelanggaran, tanpa terkecuali.
“Pimpinan Polri ini serius dalam penanganan apapun bentuknya terhadap terduga pelanggar yang dilakukan oleh anggota,” tegasnya.
Sejauh ini, sudah ada dua korban yang melaporkan kejadian ini ke Mabes Polri.
“Ya itu sudah kita terima di Divpropam Mabes Polri ini. Jadi ada dua orang pendumasnya. Tentunya pendumas ini kita jaga ya inisialnya,” ujar Abdul Karim.
Ke depan, Polri berjanji untuk terus meningkatkan pengawasan internal agar kejadian serupa tidak terulang dan menjaga citra Polri di mata publik. (Sumber: Tribunnews, Editor: KBO-Babel)