Bangka Belitung – Kasus korupsi timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) yang ditangani Kejaksaan Agung dengan nilai kerugian mencapai Rp 300 triliun adalah yang terbesar dalam sejarah Indonesia. Nilai kerugian tersebut mencakup Rp 29 triliun kerugian langsung akibat tindak pidana korupsi, sementara Rp 271 triliun adalah kerugian lingkungan hidup yang diderita oleh masyarakat Babel. Perhitungan kerugian lingkungan ini dilakukan secara akademis oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) dan diterima sebagai fakta oleh Kejaksaan Agung.
Kerugian Lingkungan Hidup dan Kepemilikan Saham PT Timah Tbk
Ironisnya, meskipun kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan timah sangat signifikan, Babel tidak memiliki saham sedikitpun di PT Timah Tbk. Presiden Jokowi sendiri terkejut ketika diberitahu bahwa provinsi ini tidak memiliki saham di perusahaan yang banyak beroperasi di wilayah mereka.
Saat ini, Mining Industry Indonesia (MIND ID) menguasai 65% saham PT Timah Tbk, sementara 35% sisanya adalah saham publik yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. MIND ID, yang sepenuhnya dimiliki oleh pemerintah pusat melalui Kementerian BUMN, merupakan BUMN Holding Industri Pertambangan yang juga menaungi PT Aneka Tambang Tbk, PT Bukit Asam Tbk, PT Freeport Indonesia, dan PT INALUM.
Precedent of Acquittal and Legal Nuances
Salah satu preseden penting dalam kasus ini adalah vonis bebas yang diberikan oleh hakim Tipikor di Pangkalpinang kepada Ali Samsuri, Kepala Unit Produksi Laut Bangka PT Timah Tbk.
Hakim mendasarkan putusannya pada UU No.19 Tahun 2003, yang menyebutkan bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Menurut hakim, PT Timah Tbk bukan lagi BUMN setelah sahamnya dipegang oleh MIND ID, sehingga tindakan korupsi yang terjadi tidak masuk dalam ranah Tipikor.
Putusan bebas ini bisa menjadi rujukan bagi hakim lain dalam mengadili kasus besar korupsi timah di Babel.
Ada kekhawatiran bahwa kasus ini hanya akan menjadi permainan hukum yang menguntungkan para tersangka, apalagi menjelang akhir periode pemerintahan Presiden Jokowi.
Namun, jeratan hukum terkait kerusakan lingkungan hidup yang disebutkan oleh Jaksa Agung senilai Rp 271 triliun tetap menjadi ancaman serius bagi para terdakwa.
Fakta bahwa kerusakan lingkungan telah diakui secara resmi memberikan dasar yang kuat bagi tuntutan kompensasi yang diajukan oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Usulan Konversi Saham dan Kenaikan Royalti
Untuk mengatasi kerugian lingkungan hidup yang sangat besar ini, Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, DPRD, dan aktivis Lembaga Sosial Kemasyarakatan (LSM) harus bergerak aktif.
Salah satu langkah yang diusulkan adalah meminta hibah saham sebesar 14% dari MIND ID kepada Babel. Hibah saham ini diharapkan bisa menjadi kompensasi sebagian dari kerugian lingkungan yang diderita.
Selain itu, kenaikan royalti timah dari 3% menjadi 10% juga menjadi tuntutan yang rasional mengingat besarnya kerusakan lingkungan dan minimnya penerimaan daerah dari aktivitas pertambangan.
Proses dan Tantangan Konversi Saham
Proses konversi saham ini memerlukan dukungan dari berbagai pihak. Gubernur Babel dan DPRD harus menyurati Kejaksaan Agung agar tuntutan hibah saham ini dimasukkan dalam tuntutan jaksa di persidangan.
Selain itu, surat kepada Mahkamah Agung dan Presiden juga perlu dilakukan agar ada putusan yang adil mengenai kompensasi kerugian lingkungan. Kompensasi ini harus menjadi salah satu fokus utama dalam penyelesaian kasus ini.
Dalam konteks hukum, konversi saham bukanlah hal yang mudah. Proses ini membutuhkan kajian hukum yang mendalam serta persetujuan dari berbagai pihak, termasuk Pemerintah Pusat dan Kementerian BUMN.
Namun, jika melihat kerusakan yang telah terjadi dan besarnya kerugian yang dialami oleh masyarakat Babel, langkah ini adalah bentuk keadilan yang harus diperjuangkan.
Kenaikan Royalti Timah
Selain konversi saham, kenaikan royalti timah juga menjadi isu penting yang harus diperhatikan.
Saat ini, royalti timah yang diterima Babel hanya sebesar 3%, yang masih harus dipotong oleh Pemerintah Pusat.
Dengan kondisi ini, penerimaan daerah dari royalti timah sangat kecil dibandingkan dengan kerusakan lingkungan yang terjadi. Oleh karena itu, kenaikan royalti timah menjadi 10% adalah langkah yang tepat untuk meningkatkan pendapatan daerah dan memperbaiki kerusakan lingkungan.
Permintaan kenaikan royalti ini pernah disampaikan oleh Gubernur Babel Dr. Erzaldi Rosman, namun hingga kini belum ada tindak lanjut yang konkret.
Dengan adanya kasus korupsi timah yang terungkap ini, kesempatan untuk menuntut kenaikan royalti menjadi lebih kuat. Pemerintah Daerah bersama DPRD dan masyarakat harus bersatu dalam memperjuangkan hak ini.
Peran Pemerintah dan Lembaga Hukum
Gubernur Babel dan DPRD harus menyurati Kejaksaan Agung agar tuntutan hibah saham ini dimasukkan dalam tuntutan jaksa di persidangan.
Selain itu, surat kepada Mahkamah Agung dan Presiden juga perlu dilakukan agar ada putusan yang adil mengenai kompensasi kerugian lingkungan.
Kompensasi ini harus menjadi salah satu fokus utama dalam penyelesaian kasus ini. Jika langkah-langkah ini tidak segera diambil, kerusakan lingkungan yang telah terjadi di Babel akan terus berlanjut tanpa ada upaya pemulihan yang berarti.
Kebutuhan untuk Bertindak
Kerusakan lingkungan yang telah terjadi di Babel sangat besar dan membutuhkan tindakan segera. Semua pihak di Babel harus bergerak bersama untuk menuntut hak mereka dan memastikan bahwa kerusakan lingkungan yang sangat besar ini tidak dibiarkan begitu saja.
Keberanian dan ketegasan dalam menuntut hak-hak ini akan menjadi cermin bagi daerah-daerah lain yang menghadapi masalah serupa.
Selain konversi saham dan kenaikan royalti, perlu juga ada upaya pemulihan lingkungan yang lebih komprehensif.
Pemerintah Daerah bersama dengan masyarakat dan LSM harus menyusun rencana pemulihan yang melibatkan berbagai pihak, termasuk perusahaan tambang, pemerintah pusat, dan lembaga internasional.
Upaya pemulihan ini harus mencakup rehabilitasi lahan yang rusak, pemulihan ekosistem, serta peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam menjaga lingkungan.
Kasus korupsi timah di Babel adalah cermin dari berbagai masalah yang dihadapi Indonesia dalam mengelola sumber daya alamnya.
Dengan nilai kerugian Rp 300 triliun, kasus ini bukan hanya soal tindak pidana korupsi, tetapi juga tentang bagaimana kerusakan lingkungan bisa dihitung dan dijadikan dasar hukum untuk tuntutan ganti rugi.
Pemerintah, melalui MIND ID, harus menghibahkan 14% saham PT Timah Tbk kepada Babel dan menaikkan royalti timah sebagai bagian dari tanggung jawab atas kerusakan yang telah terjadi.
Semua pihak di Babel harus bergerak bersama untuk menuntut hak mereka dan memastikan bahwa kerusakan lingkungan yang sangat besar ini tidak dibiarkan begitu saja.
Keberanian dan ketegasan dalam menuntut hak-hak ini akan menjadi cermin bagi daerah-daerah lain yang menghadapi masalah serupa.
Gubernur, DPRD, dan masyarakat Babel harus terus berjuang dan tidak tinggal diam dalam menghadapi situasi ini. Mereka harus memastikan bahwa kerugian lingkungan yang sangat besar ini dikompensasi dengan adil dan proporsional.
Dengan adanya tindakan yang tepat dan terkoordinasi, kerusakan lingkungan yang telah terjadi bisa diminimalkan, dan Babel bisa mendapatkan haknya atas sumber daya alam yang selama ini telah dieksploitasi.
Inilah saatnya bagi Babel untuk bangkit dan menuntut keadilan bagi lingkungan dan masyarakatnya. Hanya dengan langkah nyata dan komitmen kuat, kerusakan yang telah terjadi bisa diperbaiki dan masa depan yang lebih baik bagi Babel bisa diwujudkan. (Red)
(Artikel ini mengulas tulisan opini dari Safari Ans Wartawan Senior dan Salah satu Pejuang Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung)