KBO-BABEL.COM,KOBA – Aktivitas tambang illegal di kawasan Merbuk, Kenari, dan Pungguk, Kecamatan Koba, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, semakin hari semakin tak terkendali. Jumlah ponton isap produksi (PIP) yang awalnya hanya sekitar sepuluh kini telah berkembang pesat menjadi lebih dari lima puluh. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya penegakan hukum di wilayah ini, di mana aparat penegak hukum (APH) tampak enggan bertindak tegas terhadap pelaku tambang illegal. Sabtu (8/6/2024)
Kondisi ini membuat para penambang, pemilik ponton, dan koordinator tambang merasa bebas dan tidak lagi khawatir akan tindakan hukum.
Suasana di lokasi eks PT Koba Tin tersebut seolah menjadi pesta pora bagi para pelaku tambang illegal.
APH dan instansi terkait yang seharusnya menegakkan aturan hanya memberikan himbauan tanpa adanya tindakan nyata.
Bam, seorang warga setempat, mengungkapkan kekecewaannya kepada Tim Journalis Babel Bergerak. Menurutnya, polisi lokal dan Satpol PP hanya berani datang dan melihat-lihat tanpa melakukan penindakan nyata.
“Kalau polisi lah dak berani Pak. Mungkin harus dari Kejagung yang turun, sehingga bisa ditertibkan Bang. Kalau mengharapkan APH dan Pol PP, lah beratlah lah Bang. Paling mereka hanya berani lihat-lihat saja,” ujarnya.
Informasi yang dihimpun jurnalis Babel menunjukkan bahwa Polsek Koba bersama BKO Satpol PP Kecamatan Koba dan pihak Kelurahan Berok sebenarnya sudah dua kali mendatangi kawasan eks PT Koba Tin.
Namun, kedatangan mereka hanya untuk memberikan himbauan kepada para penambang timah illegal.
“Mana mempanlah Bang kalo hanya dihimbau. Ditangkap pun mungkin mereka pasti tak takut lagi. Apalagi hanya main himbau-himbau saja. Belum 10 langkah Tim pulang, mereka lah turun mesin lagi,” tambah Bam sambil tertawa.
Kapolsek Koba, Iptu Mardian, menyatakan bahwa pihaknya telah melakukan sosialisasi dan himbauan kepada para penambang untuk menghentikan seluruh aktivitas tambang illegal tersebut.
“Kita sudah melakukan sosialisasi dan himbauan kepada para penambang timah di kawasan Eks PT Koba Tin untuk segera menghentikan aktivitasnya,” ujarnya.
Namun, upaya persuasif ini tampaknya tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Penambang tetap beroperasi tanpa mengindahkan himbauan aparat.
Di sisi lain, Kades Nibung, Astiar, justru meminta agar aktivitas tambang di lokasi eks Koba Tin tersebut dilegalkan. Menurutnya, legalisasi dapat menjadi solusi untuk mengatur aktivitas tambang yang sudah terlanjur marak.
“Kami minta dan berharap kepada pemerintah daerah Provinsi Bangka Belitung dan Pusat melalui kementrian Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk segera memberikan izin kepada PT timah secepatnya untuk dilegalkan,” tuturnya.
Tak hanya aparat dan instansi pemerintah yang terlibat, tetapi juga ada informasi mengenai oknum wartawan yang ikut bermain dalam lingkaran tambang illegal di Merbuk, Kenari, dan Pungguk.
Ti, seorang narasumber, mengungkapkan bahwa ada pengurus yang sering datang ke lokasi tambang dan mengatur jika ada media yang datang.
“Kalau pengurus yang diketahui tersebut sering kesitu (lokasi TI di Kenari) dia yang atur kalau ada awak media ke lokasi bagikan duit. Dia tahu persis segala aturan disitu, nanti langsung hubungi saja pak. Katanya kepada awak media ini,” ujar Ti.
Fahrozi, yang disebut-sebut sebagai oknum wartawan yang menjadi koordinator media, membantah jika dirinya adalah wartawan.
“Saya bukan wartawan. Saya masyarakat biasa, bagianku mengatur media yang masuk ke sini. Kalau awak media masuk kesitu kita yang ngurusi. Kalau masalah pendanaan disitu ada Edi Nibung yang urus,” ujar Fahrozi.
Saat ditanya siapa yang membeli timah dari tambang eks PT Koba Tin tersebut, Fahrozi mengatakan bahwa timah dibawa ke Pangkalpinang.
“Timah tu larinya ke Pangkal, tapi tidak tahu kemana timahnya. Soalnya bukan urusan kita. Di situ sistem kita bergaji dari hasil timah itu lah. Kalau hasilnya lumayan la dapat kalau normal,” tambahnya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun dari pihak-pihak yang menerima hasil tambang illegal Merbuk, Kenari, dan Pungguk tersebut. Ada indikasi bahwa Bos Timah di Pangkalpinang dan di Jebus yang mengambil pasir timah tersebut, untuk selanjutnya dibawa ke smelter di Kabupaten Bangka.
Permintaan untuk tindakan tegas datang dari berbagai pihak, dengan harapan agar Kejaksaan Agung (Kejagung) turun tangan.
Ketiadaan tindakan dari APH lokal telah membuat para pelaku tambang merasa kebal hukum.
Diharapkan, dengan adanya intervensi dari tingkat pusat, penambangan illegal di wilayah Merbuk dan sekitarnya dapat segera dihentikan dan ditertibkan.
Situasi ini menjadi ujian besar bagi penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam menangani tambang illegal yang kian merajalela. (KBO Babel)