Program Tapera Menuai Kritik: Menteri Basuki dan Sri Mulyani Siap Mengkaji Penundaan
KBO-BABEL.COM (Jakarta) – Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menyampaikan penyesalannya terkait pelaksanaan Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Penyesalan tersebut mencuat setelah melihat kemarahan dan ketidakpuasan masyarakat terhadap program tersebut. Sabtu (8/6/2024)
“Dengan kemarahan ini, saya pikir saya menyesal betul,” ujar Basuki dalam sebuah pernyataan pada Kamis (6/6).
Ia menambahkan bahwa dirinya legowo jika program tersebut harus diundur, sikap yang juga telah diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Program Tapera sendiri merupakan amanat dari Undang-Undang Tapera yang disahkan pemerintah dan DPR pada 2016. Untuk memastikan pelaksanaan program berjalan baik, pemerintah, terutama Menteri Keuangan Sri Mulyani, telah berupaya membangun kredibilitas program ini dengan menjalankannya terlebih dahulu pada Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Namun, pelaksanaannya untuk pekerja di sektor swasta diundur hingga tahun 2027. Meskipun demikian, ternyata masyarakat masih belum siap. “Menurut saya pribadi, kalau memang belum siap, kenapa kita harus tergesa-gesa,” kata Basuki.
Basuki juga menyarankan bahwa ada cara yang bisa ditempuh untuk menunda Tapera. Mengingat dasar hukum pelaksanaan program tersebut adalah undang-undang, desakan untuk menunda pelaksanaan harus datang dari DPR.
“Jadi kalau ada usulan DPR misalnya untuk diundur, saya sudah kontak dengan Bu Menkeu, kita akan ikut wong itu uu,” tegasnya.
Pemerintah berencana mewajibkan seluruh pekerja, baik mandiri maupun swasta, untuk menjadi peserta Tapera mulai Mei 2027. Sebagai konsekuensi keikutsertaan, mereka harus membayar iuran sebesar 3 persen dari gaji. Rincian iuran tersebut adalah 0,5 persen dibayar oleh pengusaha sementara 2,5 persen lainnya dipotong dari gaji pekerja setiap tanggal 10.
Namun, kritik datang dari berbagai pihak, termasuk Dedi Wahidi dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa. Ia meminta agar Tapera tidak diwajibkan kepada seluruh pekerja, baik ASN maupun swasta. Menurutnya, banyak ASN yang sudah tidak lagi memiliki Surat Keputusan (SK), sehingga pemotongan tambahan bisa menimbulkan keresahan.
“Jadi kalau harus dipotong lagi untuk ini khawatir mengganggu dan ini sudah kelihatan gejolak keresahan. Jadi lebih baik yang minat silahkan, jadi dianjurkan saja, tidak diharuskan dulu,” ujar Dedi.
Penundaan program Tapera menjadi isu yang kompleks. Di satu sisi, pemerintah ingin memenuhi amanat undang-undang dan memberikan akses perumahan yang layak bagi masyarakat. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa masyarakat belum siap dengan kewajiban finansial tambahan yang akan timbul.
Sri Mulyani, sebagai Menteri Keuangan, telah menunjukkan komitmennya untuk menjaga kredibilitas program. Namun, dengan adanya masukan dari DPR dan melihat respon masyarakat, keputusan untuk mengkaji ulang atau menunda pelaksanaan Tapera bisa menjadi langkah yang bijaksana.
Polemik ini menunjukkan pentingnya komunikasi dan sosialisasi program pemerintah kepada masyarakat. Tanpa pemahaman yang baik, program sebesar dan sepenting Tapera bisa menimbulkan gejolak dan penolakan.
Ke depannya, perlu ada dialog konstruktif antara pemerintah, DPR, dan masyarakat untuk menemukan solusi terbaik. Menjaga keseimbangan antara pelaksanaan program yang sesuai dengan undang-undang dan kesiapan masyarakat menjadi kunci utama dalam menghadapi tantangan ini. (KBO-Babel/tim)