Kisah Pahit Penduduk Desa Permis dalam Mencari Nafkah, Dari Penambang Jadi Nelayan
KBO-BABEL.COM (Pangkalpinang) – Desa Permis, sebuah desa kecil di Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Di sini, hidup sebagian besar penduduknya tergantung pada aktivitas tambang laut yang kini semakin meredup. Iwan, seorang pria berusia 46 tahun, adalah salah satu dari mereka. Senin (20/5/2024)
Dahulu, seperti kebanyakan warga desa lainnya, Iwan menggantungkan hidupnya pada penambangan pasir timah. Pendapatan yang tinggi pernah dirasakannya saat harga pasir timah melonjak, mencapai Rp6 juta per hari.
Namun, seiring berjalannya waktu, aktivitas tambang laut semakin terbatas dan sulit dilakukan. Sekarang, Iwan dan banyak warga desa lainnya beralih ke mencari ikan dan kepiting sebagai sumber pendapatan utama.
Kendati begitu, ketersediaan pendapatan dari hasil melaut pun tidak menjamin kehidupan yang stabil. Mereka harus berhadapan dengan masalah baru, seperti ketidakpastian dalam menjual hasil tangkapan dan risiko terlibat dalam aktivitas ilegal.
Kebanyakan kolektor timah yang biasanya membeli hasil tambang laut dari Tambang Inkonvensional (TI) Tower kini enggan membeli, karena takut akan tindakan penindakan dari pihak berwajib.
Suatu contoh yang mencolok adalah penangkapan Su, seorang warga desa yang diamankan karena diduga mengangkut pasir timah ilegal. Pasir timah tersebut tidak memiliki izin yang sah, memperkuat persepsi bahwa kegiatan penambangan ilegal semakin merajalela di wilayah tersebut. Polisi masih terus melakukan penyelidikan terkait hal ini, menambah ketegangan di antara masyarakat Desa Permis.
Bagi penduduk desa, kehidupan menjadi semakin sulit karena harus berhadapan dengan peraturan yang ketat dan penegakan hukum yang lebih intensif. Mereka merasa terjebak dalam lingkaran setan, di mana mereka harus mencari nafkah untuk keluarga mereka tetapi juga harus menghindari petugas yang mengawasi aktivitas mereka. Banyak yang memilih untuk berhenti menambang dan kembali menjadi nelayan, karena harga jual timah terus merosot.
Menurut Iwan, hasil tambang dari TI Tower di perairan Laut Permis juga semakin menurun. Tiap TI Tower hanya mendapatkan 30-40 kg timah setiap hari, sulit untuk mencapai target 100 kg setiap hari.
Bahkan jika berhasil menambang, para penambang kesulitan menjual hasil tambang mereka. Mereka terjebak dalam situasi di mana pasokan melimpah namun tidak ada permintaan yang cukup, menyebabkan penurunan pendapatan yang signifikan.
Sementara itu, pengusaha TI Tower tampaknya tidak terpengaruh oleh penurunan harga timah. Mereka terus menjual pasir timah kepada kolektor dengan harga yang tidak diketahui oleh para penambang. Situasi ini semakin memperkuat kesenjangan antara mereka yang memiliki kekuatan ekonomi dan mereka yang harus berjuang mencari nafkah di laut.
Dalam keseluruhan cerita ini, tergambarlah gambaran pahit dari kehidupan masyarakat Desa Permis. Mereka terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan ketidakpastian, dengan sedikit harapan untuk perubahan yang lebih baik.
Meskipun demikian, mereka tetap bertahan, mencoba mengatasi semua rintangan yang menghadang, dengan harapan suatu hari nanti, kehidupan mereka akan lebih baik. (KBO-Babel/tim)