Ancaman dan Tantangan Terkait Penggantian Kelas BPJS dengan KRIS

BPJS Kesehatan

Menilik Ancaman dan Tantangan dalam Penggantian Kelas BPJS oleh KRIS

KBO-BABEL.COM (Jakarta) – Penggantian Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) sebagai pengganti kelas 1, 2, dan 3 BPJS Kesehatan telah menimbulkan sorotan dan pertanyaan mendalam terhadap dampaknya terhadap masyarakat Indonesia. Meskipun Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menegaskan bahwa penggantian ini bukan bertujuan untuk menghapus kelas-kelas yang ada, namun tantangan-tantangan signifikan tetap muncul seiring dengan perubahan ini. Rabu (15/5/2024)

Pada Rabu (8/5), Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, yang mengatur penerapan KRIS. Namun, sejumlah pengamat telah mengungkapkan beragam keprihatinan dan tantangan yang mungkin timbul akibat implementasi KRIS.

Bacaan Lainnya

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti menyoroti pentingnya peningkatan standar pelayanan kesehatan yang setara bagi semua lapisan masyarakat, baik yang mampu maupun yang kurang mampu secara finansial.

Namun, Astuti juga mengingatkan akan pentingnya pemantauan dan peningkatan kualitas layanan secara berkala untuk memastikan bahwa implementasi KRIS tidak merugikan kelompok masyarakat tertentu.

Salah satu keprihatinan utama adalah terkait dengan penentuan iuran yang wajar bagi seluruh lapisan masyarakat. Dalam sistem BPJS Kesehatan sebelumnya, terdapat perbedaan besar dalam besaran iuran yang dibayarkan oleh peserta dari kelas 1, 2, dan 3. Esther Sri Astuti menegaskan perlunya penentuan iuran yang terjangkau bagi kelompok masyarakat miskin untuk memastikan akses mereka terhadap KRIS.

Namun, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyatakan keprihatinannya terhadap potensi penurunan pendapatan dari iuran dan potensi peningkatan tunggakan iuran dari peserta kelas 3.

Ia juga mencemaskan dampak pembatasan akses ke ruang perawatan bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akibat alokasi ruang perawatan KRIS di rumah sakit.

Timboel mengutip pasal 18 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan yang menyebutkan alokasi ruang perawatan KRIS di RS swasta minimal 40 persen. Ia khawatir bahwa pembatasan ini dapat menghambat akses peserta JKN ke layanan kesehatan yang mereka butuhkan.

Selain itu, Timboel juga menyoroti kebutuhan akan rujukan tempat perawatan bagi pasien yang tidak dapat tertangani di salah satu rumah sakit, yang saat ini tidak diatur dalam perpres terbaru.

Ia menekankan perlunya penyelesaian masalah ini melalui peraturan menteri kesehatan yang segera terbit, untuk memastikan bahwa masyarakat tidak kesulitan dalam mencari perawatan yang mereka perlukan.

Karena itu, sementara KRIS membawa potensi peningkatan standar pelayanan kesehatan, masih terdapat sejumlah tantangan yang harus diatasi untuk memastikan bahwa perubahan ini tidak merugikan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Diperlukan kerja keras dari pemerintah, BPJS Kesehatan, serta pemangku kepentingan lainnya untuk memastikan bahwa akses kesehatan yang berkualitas tetap tersedia bagi semua warga negara Indonesia.

Penggantian Kelas BPJS dengan KRIS menghadirkan beragam tantangan dan ancaman yang harus ditangani dengan serius. Meskipun bertujuan untuk meningkatkan standar pelayanan kesehatan, perubahan ini memerlukan pemantauan yang ketat dan upaya bersama dari pemerintah, BPJS Kesehatan, dan pemangku kepentingan lainnya untuk memastikan bahwa akses kesehatan yang berkualitas tetap tersedia bagi seluruh masyarakat Indonesia. (KBO-Babel/tim)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *