Menjelajahi Intelektual dan Kreativitas dalam Bisnis Media: Pandangan Anggota Dewan Pers
KBO-BABEL.COM (Jayapura) – Di Hotel Suni Abepura, Kota Jayapura, Provinsi Papua, pelatihan pengelolaan media online se-Tanah Papua yang diselenggarakan oleh Asosiasi Wartawan Papua (AWP) telah menarik perhatian dengan pernyataan tajam dari salah satu narasumber kunci, Anggota Dewan Pers Atmaji Sapto Anggoro. Dalam sesi yang berlangsung pada Senin (25/3/2024), Sapto menguraikan pandangannya tentang esensi bisnis media, menyebutnya sebagai bisnis yang menggunakan ‘otak’. Selasa (26/3/2024)
Menghadirkan perspektif yang kaya akan pengalaman dan wawasan dalam industri media, Anggota Dewan Pers Atmaji Sapto Anggoro menggambarkan bisnis media sebagai arena di mana intelektualitas dan kreativitas menjadi mata uang utama.
Dalam suasana yang hangat di Hotel Suni Abepura, Sapto menguraikan esensi bisnis media yang membutuhkan pemikiran yang mendalam serta kreativitas yang mengalir dalam setiap langkahnya.
“Bisnis media adalah bisnis memakai otak karena bisnis media membutuhkan intelektual dan kreatifitas,” ungkap Sapto dengan penuh keyakinan.
“Kemampuan berpikir secara sains menggunakan otak kanan, sedangkan kreativitas menggunakan otak kiri.”
Dalam paparannya yang mendalam, Sapto menyoroti perbedaan mendasar antara bisnis media dengan bisnis manufaktur atau pabrik. Sementara bisnis manufaktur mungkin lebih mengutamakan mesin daripada sumber daya manusia, bisnis media membutuhkan kekayaan intelektual dan ide-ide segar yang melahirkan inovasi.
“Utamanya bisnis pabrik itu bukan orangnya, tetapi mesinnya. Kalau (bisnis media) ini kan enggak, (dibutuhkan isi) kepala dari orangnya,” tegasnya.
Sapto, yang juga merupakan pendiri Tirto.id, mengilustrasikan pentingnya sumber daya manusia yang berkualitas dengan merujuk pada perjalanan media-media ternama seperti Kompas dan detik.com.
Dalam sorotannya, ia menekankan bahwa kebesaran media-media tersebut bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari intelektualitas dan visi yang kuat dari individu-individu di belakangnya.
“Kita gak punya apa-apa (selain) ide atau gagasan, kreativitas, dan intelektual yang semuanya itu ada di kepala. Yang bisa melahirkan Kompas dan detik.com mulai dari tidak ada apa-apa sampai seperti (besar) itu kan bentuk dari intelektual dan mindset yang ada di kepala,” paparnya dengan penuh semangat.
Dalam konteks merekrut sumber daya manusia yang berkualitas, Sapto membagikan tips berharga berdasarkan pengalamannya yang luas dalam industri ini. Salah satunya adalah melalui proses seleksi yang cermat dan terfokus pada potensi intelektual serta kecocokan kandidat dengan kebutuhan perusahaan.
“Saya memilih hotel yang terbaik di Jakarta. Kemudian di Jogja, saya menyewa Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM) karena semua orang tahu UGM,” jelasnya.
Namun demikian, Sapto menegaskan bahwa seleksi tidak hanya berdasarkan pada latar belakang akademis semata. Ia juga menekankan pentingnya minat, hobi, dan kecocokan pribadi dalam memastikan keselarasan antara individu dan lingkungan kerja yang dinamis di dalam industri media.
“Kamu minatnya apa? Saya dulu minatnya jurnalistik. Tapi kok jurusannya ambil teknik? Makanya itu, saya rada malas-malasan,” tuturnya dengan tawa.
Dengan gagasan-gagasan yang cemerlang dan pandangan yang tajam, Sapto membawa audiensnya dalam perjalanan intelektual yang menggugah. Ia menegaskan bahwa di balik keberhasilan sebuah media terdapat karya-karya pikiran yang mendalam, kreativitas yang tak terbatas, dan semangat yang menggelora dari individu-individu yang membangunnya dari nol.
Sebagai penutup, Sapto mengajak para pelaku industri media untuk terus menggali potensi intelektual dan kreativitas, serta menjunjung tinggi nilai-nilai keberanian dan inovasi dalam setiap langkah mereka.
Dalam dunia yang terus berkembang dan berubah, hanya dengan berani memimpin dengan otak dan hati yang penuh semangatlah kita dapat mencapai kesuksesan sejati dalam bisnis media yang penuh tantangan ini. (Sumber: Jubi, Editor: KBO-Babel)