Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya
DI NEGERI ini, begitu mudah mencari politisi, “ngingal” (noleh) kiri politisi, “ngingal” kanan politisi, noleh ke belakang, ada mantan politisi dan kepengen balik mempolitisir diri. Bahkan anak masih sekolah saja sudah dikaderkan menjadi politisi. So, negeri ini “Inflasi Politisi, Defisit Negarawan”.
===============
MENJADI Politisi itu tidaklah buruk, sebab ia bagian penting dari keberlanjutan negara demokrasi seperti kita ini. Bahkan sebetulnya seseorang yang menjadi politisi itu adalah sosok yang sangat dihormati, dihargai dan menjadi bagian dari pencari solusi dalam permasalahan masyarakat. Oleh karenanya, seseorang yang menjadi politisi itu adalah orang yang sebetulnya sudah matang dalam segala hal dan sudah selesai dengan dirinya sendiri. Apakah demikian adanya politisi kita hari ini? tanyakan pada rumput bergoyang? Wuss, jangan! sebab rumput sudah dipolitisir, buktinya rumput di JIS (Jakarta International Stadium).
Musim Kampanye sudah dimulai, kita kembali menikmati banyak spanduk dan baliho bertebaran sepanjang jalan, bahkan nempel dipohon. Setiap hari, group-group WA penuh dengan stiker dan wajah-wajah Caleg yang dikirim sehingga memenuhi Handphone yang kita miliki. Begitu banyak share sana sini soal politik yang lebih banyak mencaci ketimbang menyampaikan visi misi atau langkah kongkrit bagaimana konsep membangun negeri. Sesama anak bangsa saling menghujat dan mencaci ketika tak sesuai dengan pilihan. Pujian berlebihan bersama cacian penuh penistaan membuat merinding bulu kuduk para rohaniwan dan negarawan (jika masih ada). Kita harus menikmati itu untuk beberapa bulan kedepan. Tentunya dengan lapang dada dan tetap menjaga keharmonisan ditengah perbedaan yang nyata. Sebab apapun yang terjadi, negara tetap harus utuh sebagai negara. Negara dengan penguasa berbeda. Kepercayaan kepada negara harus tetap kokoh, sedangkan penguasa bisa salah, bisa keliru, bisa bodoh, bisa pintar, bisa dikritik, bisa dipuji, bisa diangkat, bisa diturunkan jika melanggar konstitusi terlebih Undang-Undang.
Luntur dan lenturnya kepercayaan rakyat kepada negara (pengelola negara), seringkali diawali oleh beberapa faktor: (1) Kebijakan negara yang seringkali menelantarkan kepentingan rakyat, tapi lebih mengutamakan kaum pemodal (2) Pengelola negara seringkali malah menjadi masalah, bukan menyelesaikan masalah, tak mampu menjaga tutur dan tingkah. (3) negara seringkali menggunakan alat negara sebagai pemecah belah, bukan sebagai kelompok tengah. (4) alat negara dimanfaatkan sebagai pemukul bukan perangkul, sentiment bukan argument dan mengejek bukan mengajak. (5) Para pengelola negara (eksekutif, legeslatif maupun yudikatif) kala duduk tidak bersikap negarawan dan kala berdiri tidak tegak, malah oleng kekiri atau kekanan.(6) banyak politisi yang belum matang intelektualias, spiritualitas, kredibilitas dan belum selesai pada dirinya sendiri.
Hendak Bertanduk, Kepala Dipahat
SERINGKALI saya ungkapkan diberbagai tulisan dan ucapan lisan diberbagai kegiatan, yakni “salah satu buah demokrasi adalah banyak cacing yang merasa diri naga dan banyak kucing yang merasa diri harimau serta ada cicak menyebut diri biawak bahkan buaya”. Pepatah Melayu menyindir: “Karena hendak bertanduk, kepala dipahat”.
Karena memaksakan diri atau dipaksakan, tak peduli melanggar konstitusi. Hukum dan peraturan disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan serta kepentingan pribadi atau kelompok. Yang boleh menjadi tidak boleh, yang tidak boleh menjadi boleh. Untuk orang lain dibuat keras, untuk diri sendiri dan keluarga atau kelompok peraturan menjadi lunak bahkan tanpa aturan. Ketika konstitusi dikangkangi, maka tinggal menunggu waktu seorang Raja akan ditawur oleh rakyatnya sendiri ke lembah nista.
Menjadi seorang Politisi itu adalah bagian dari perjalanan hidup yang didorong oleh kebutuhan masyarakat banyak, bukan pribadi apalagi keluarga. Ketika seorang politisi masih belum matang dan terlebih belum selesai dengan dirinya sendiri, maka jangan harap ia akan berbuat banyak. Matang disini adalah matang dari kebutuhan hidup pribadi, matang kualitas hidup, matang intelektualitas, matang integritas, matang spiritualitas dan memiliki background yang jelas (kemampuan dan prestasi/nilai).
Seorang politisi yang memaksakan diri apalagi maju karena dipaksakan kehendak oleh orang-orang yang memiliki kepentingan, terlebih orangtua atau pengusaha, maka yang muncul adalah membentuk Tim Mak Erot. Yakni tim yang membesarkan sesuatu yang kecil, yang remeh temeh menjadi seakan-akan hebat dan wah. Makanya jangan heran jika politik mengejar kekuasaan di negeri ini yang ditampilkan adalah joget, bentuk tubuh, wajah, kelucuan bukan intelektualitas, visi misi dan strategi memajukan negeri kedepan.
Makanya, ketika negeri ini Inflasi politisi, akan banyak orang yang kepengen menjadi pemimpin, padahal menjadi rakyat saja ia masih belum lulus. Banyak orang yang merasa pantas menjadi atasan, padahal menjadi bawahan saja ia suka menjilat atasan dan menginjak kawan. Banyak orang yang merasa pantas menjadi Kepala Daerah, padahal menjadi Kepala Rumah Tangga saja ia kacau balau. Banyak orang yang merasa pantas menjadi penceramah, padahal ayat saja baru hafal satu potong. Banyak orang yang merasa pantas menjadi imam, tapi menjadi makmum saja ia sering batal sholat. Inilah yang kita sebut bahwa buah dari demokrasi juga adalah melahirkan manusia-manusia yang “dak ngukor baju di badan”
Pernah saya ungkapkan melalui tulisan beberapa tahun silam, bahwa perilaku “hanya karena merasa” inilah yang akhirnya menciptakan manusia-manusia kaget, entah itu kaget struktural, kaget spiritual dan kaget sosial. Kita kerapkali merasa besar, ternyata kenyataannya kita tak sebesar yang kita rasa, sehingga ketika ada orang yang tidak menganggap diri kita besar kita kecewa dan murka. Juga karena merasa sedang dekat dengan orang besar, lantas ketika orang yang kita anggap besar dan kita besar-besarkan itu dikritik, justru kitalah yang kaget dan ngamuk lalu bersikap murka kepada para pengkritik yang sebenarnya sedang memberikan “cermin” kepada orang yang sedang dikritik.
Kita merasa orang sedang mengkritik atau menghina kita, padahal orang tersebut sedang memberikan kasih sayangnya dengan cara yang berbeda, hanya karena ketidakpahaman dan cetek-nya ilmu, malah kita hujat dan memprovokasi orang lain untuk turut menghujat. Padahal pada kenyataannya makna yang tersirat bukan sedang mengkritik, tapi itulah kita, selalu saja mengedepankan sikap hanya karena merasa bahwa sang pengkritik salah dan kita adalah benar. Kita sering merasa pintar, tapi kenyataannya banyak hal yang tak kita ketahui dalam hidup ini, bahkan persoalan dan kenyataan yang ada didepan lobang hidung sendiri seringkali tak kita ketahui, dan ketika ada orang yang mengetahuinya dan memberitahu kita malah murka. Kita merasa kaya, tapi pada kenyataan hutang menumpuk dimana-mana. Kita merasa kitalah yang paling miskin dan menderita, sehingga menjual kemiskinan dan penderitaan itu kemana-mana dengan menadahkan tangan meminta-minta, padahal kemiskinan itu bukan untuk diumbar agar orang lain iba, tapi kemiskinan sedang mengajarkan kita untuk mandiri dan semakin keras berusaha.
Kita sering merasa diri kita adalah seonggok mutiara, tapi pada kenyataannya kita tak lebih dari serbuk-serbuk ringan atau tepung yang tak berarti apa-apa. Kita sering merasa terhormat, sehingga selalu berusaha berdiri dan duduk di kursi terdepan, padahal kita bukanlah siapa-siapa. Kita sering merasa gagah, tapi kenyataannya ketika terbaring sakit dan selang infus melekat ditangan, kita tak mampu berbuat apa-apa. Kita sering merasa pantas dan mampu, tapi pada kenyataannya kita termasuk golongan yang cuma merasa bisa tanpa ada kemampuan dan keahlian dibidangnya.
Kita sering merasa cantik/tampan, tapi pada kenyataannya kecantikan dan ketampanan itu kerapkali menjerumuskan kehidupan kita dan menjadikan kita manusia paling rendah diantara manusia-manusia lainnya. Kita selalu merasa bangga karena keluarga kita adalah pejabat atau sedang dekat dan mesra dengan sang pejabat, tapi sebenarnya kita sendiri bukan siapa-siapa dan masuk kategori rakyat biasa yang jelata. Kita merasa berasal dari keturunan terhormat atau ningrat, tapi kenyataannya perilaku dan tindakan kita dalam kehidupan sehari-hari justru menginjak-injak kehormatan tersebut. Kita tak jarang pula merasa hebat, tapi pada kenyataannya kemampuan yang kita miliki jauh lebih rendah dari orang yang kita remehkan. Kita merasa kitalah yang berhak mendapat jabatan tinggi yang diimpikan, pada kenyataannya orang lain banyak yang lebih pantas karena kemampuan serta perilaku kita tak pantas menduduki jabatan tinggi tersebut. Kita selalu merasa bahwa kitalah yang paling banyak berbuat sosial dan membantu, tapi pada kenyataannya sikap sosial kita tak lebih dari berpura-pura. Kita merasa kita adalah orang modern dan orang kota karena disini kita dilahirkan dan tinggal, tapi pada kenyataan tingkah laku kita sangatlah kampungan bahkan jauh lebih mulia orang kampung beneran.
Kita kerapkali merasa paling alim, sehingga Sorga seakan-akan sudah kita kapling untuk diri kita sendiri, tapi pada kenyataannya kealiman yang nampak itu hanya dipermukaan saja, karena yang ada adalah kesombongan dan kepicikan dalam berpikir karena menganggap orang lain durjana. Kita selalu merasa kita yang paling sukses, padahal pada kenyataannya kesuksesan yang kita raih karena hasil menyuap, menjilat bahkan merampok. Kita merasa kesuksesan yang kita raih semata-mata hasil dari kerja keras dan kemampuan sendiri sehingga sombong dan membusungkan dada, padahal banyak peran orang lain dibalik kesuksesan yang kita raih.
Kita berkoar-koar dan merasa diri kitalah yang paling demokrasi, tapi ketika ada yang berbeda pilihan, justru kita caci maki dan umbar fitnah. Kita merasa diri kita yang paling senior dan berpengalaman, tapi pada kenyataannya kesenioran dan pengalaman yang kita miliki tak berarti apa-apa bagi generasi muda (junior). Kita kerapkali merasa suara kita paling indah dan enak didengar kala mendendangkan lagu, padahal yang mendengar kesakitan telinganya.
Kita merasa banyak berbuat dan berjasa terhadap lingkungan dan daerah, tapi pada kenyataan itu hanya keterpaksaan belaka dan bahkan karena ada keinginan terselubung dibaliknya. Kita selalu merasa setiap kalimat yang kita ucapkan atau kita tulis semua orang menyukai, tapi pada kenyataannya pujian orang hanya didepan kita saja, menoleh ke belakang sedikit saja, justru mereka sinis dan bahkan tertawa sambil menumpahkan muntah di punggung kita. Kita pun merasa karya kita yang paling indah, pada kenyataannya orang lain yang menikmati justru muntah mengeluarkan segala isi perutnya.
Dari “merasa” ini sebetulnya saya ingin mengajak diri sendiri dan para pengejar kekuasaan 2024, mulailah dewasa (matang) dalam membaca diri sehingga kalau menang, bersikap tahu diri dan kalau kalah tetaplah memiliki karakter diri. Sebab hidup dan bermanfaat itu bukan hanya menjadi politisi.
Salam Politisi!(*)
- Ahmadi Sofyan, adalah penulis Buku, kolomnis di berbagai media dan pemerhati sosial budaya di Bangka Belitung. Telah menulis lebih dari 80 judul buku dan novel serta lebih dari 1.000 opini-nya yang tersebar diberbagai media cetak maupun online. Kini ia banyak menghabiskan waktunya di Pundok Kebun tepi sungai di tanah kelahirannya, Desa Kemuja.