Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) Indonesia telah memutuskan untuk menolak gugatan seorang advokat yang memohon agar surat izin mengemudi (SIM) bisa berlaku seumur hidup. Saat ini, masa berlaku SIM adalah lima tahun yang dapat diperpanjang sebelum masa berlakunya habis.
MK memutuskan bahwa SIM harus diperpanjang setiap lima tahun. Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa SIM tidak bisa disamakan dengan Kartu Tanda Penduduk elektronik (KTP-el), yang masa berlakunya bisa seumur hidup. MK menjelaskan bahwa meskipun KTP-el dan SIM adalah dokumen yang mencatat identitas, keduanya memiliki fungsi yang berbeda.
Menurut anggota Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, KTP-el adalah dokumen kependudukan yang wajib dimiliki oleh semua warga negara Indonesia, sedangkan SIM adalah surat izin mengemudi kendaraan bermotor yang hanya wajib dimiliki oleh orang-orang yang akan mengemudikan kendaraan bermotor dan telah memenuhi persyaratan SIM sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Enny menjelaskan bahwa penggunaan SIM perlu dievaluasi karena dipengaruhi oleh kondisi dan kompetensi pengemudi yang bisa berbeda. Evaluasi ini sangat penting untuk keselamatan dalam berlalu lintas.
“Batas waktu lima tahun sebagai jangka waktu berlakunya SIM telah ditentukan oleh pembentuk undang-undang karena diperlukan fase evaluasi dan pengawasan terhadap kondisi kesehatan jasmani dan rohani serta kompetensi atau keterampilan pengemudi dengan mempertimbangkan kondisi sosial budaya masyarakat. Oleh karena itu, masa berlaku lima tahun tersebut dinilai cukup beralasan untuk melakukan evaluasi terhadap perubahan yang dapat terjadi pada pemegang SIM,” jelasnya.
Saat ini, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) telah menyediakan berbagai kemudahan dalam pelayanan SIM. Ini termasuk perpanjangan SIM secara online, layanan SIM keliling, ujian teori melalui aplikasi Electronic Audio Visual Integrated System (E-AVIS), ujian kesehatan jasmani dan rohani secara online melalui aplikasi e-rikkes, serta ujian praktik melalui aplikasi E-Drive.
Namun, Enny menekankan bahwa inovasi-inovasi ini harus tetap memastikan validitas kompetensi dan keterampilan serta kesehatan pengemudi. Hal ini untuk mencegah penyalahgunaan oleh petugas penerbitan SIM, yang seringkali dikeluhkan oleh masyarakat.
“Khusus bagi petugas yang memberikan layanan penerbitan SIM juga harus melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara profesional dengan cara menjaga integritas dan memberikan pelayanan secara optimal, bukan justru menjadikan evaluasi dimaksud sebagai formalitas dan untuk mencari pendapatan sebagaimana yang selama ini kerap dikeluhkan oleh sebagian masyarakat,” ucap Enny.
Selain itu, Enny menekankan pentingnya penguatan integrasi data Dukcapil yang menjadikan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai basis data SIM. Ini akan membantu dalam meningkatkan kualitas identifikasi SIM berbasis teknologi yang mampu mengungkap data pelanggaran atau kejahatan dengan cepat dan akurat.
“Dengan demikian, adanya beban pembiayaan dalam proses penerbitan dan perpanjangan SIM yang merupakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dapat digunakan secara efektif untuk meningkatkan kualitas penerbitan SIM yang berdampak pada penurunan fatalitas kecelakaan berlalu lintas. Hal ini sesungguhnya merupakan bagian dari tujuan hukum, termasuk tujuan dibentuknya UU 22/2009 untuk sarana merekayasa masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik, khususnya dalam berlalu lintas,” kata Enny.
Pengemudi di Indonesia tetap diharuskan untuk memperbarui SIM mereka setiap lima tahun, dengan harapan bahwa keputusan ini akan meningkatkan keselamatan berlalu lintas dan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. (KBO Babel)